Sebagian orang mengira, bahwa tugas Muhaffizh/ah hanya sekadar menerima hafalan Al-Qurân semata, sehingga bekal yang dibutuhkan oleh para Muhaffizh/ah hanya sekadar hafalan. Padahal, kenyataannya tugas mereka lebih dari itu.
Al-Imâm An-Nawawiy telah meringkas bagi kita bagaimana seharusnya peran seorang Muhaffizh/ah bagi para murid-muridnya dalam At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan dengan ringkas dan padat mengenai sosok ideal menjadi seorang guru bagi para penuntut ilmu Al-Qurân sekaligus para penuntut ilmunya, guru para penghafal Al-Qurân sekaligus para penghafalnya, serta bagaimana para pembaca Al-Qurân secara umum bisa berinteraksi dengan Al-Quran secara tepat dan beradab.
Lebih jauh, Al-Imâm Ibn Al-Jazariy telah mencatat bagaimana seharusnya sosok seorang Muqri (pengajar Al-Qurân) yang ideal dalam kitab Munjidul Muqriin. Beliau telah menyebutkan bekal ilmu apa saja yang mesti dimiliki seorang Muqri sebelum duduk menerima setoran hafalan dari murid-muridnya.
Berat bagi kita mungkin apabila membicarakan sosok ideal seorang Muhaffizh atau Muqri. Namun tentu bukan berarti kemudian kita bermudah-mudah dalam menjadikan seseorang sebagai Muhaffizh atau Muqri. Mesti ada standar minimal yang bisa dijadikan acuan agar kita tidak tergesa-gesa menjadikan anak didik kita sebagai seorang Muhaffizh / Muqri, serta kita pun bisa memilih kepada siapa kita harus belajar dan menyetorkan bacaan Al-Qurân kita.
1. Hafalan disertai tajwid yang benar berdasarkan talaqqiy dan musyafahah
Hafalan adalah modal utama para Muhaffizh dan Muqri. Namun, sekadar hafalan akan menjadi bekal yang hampa manakala tidak diiringi dengan tajwid yang benar. Apalagi apabila masih begitu banyak bacaan yang merusak makna, karena pada saat itu hakikatnya ia belum menghafal Al-Qurân. Karena seseorang yang benar-benar menghafal Al-Qurân akan benar-benar hafal kapan sebuah kata dibaca dengan Hamzah dan kapan sebuah kata dibaca dengan 'Ain. Kapan sebuah kata dibaca dengan Sin dan kapan sebuah kata dibaca dengan Tsa, atau Shad, atau Syin, dan seterusnya. Apabila ia tidak mengetahuinya, maka artinya ia belum menghafalnya. Lalu, bagaimana ia akan mencetak para penghafal Al-Qurân apabila ia tidak benar-benar menghafalnya?
فاقد الشيء لا يعطيه
"Orang yang tidak memiliki sesuatu, maka tidak mungkin bisa memberikannya."
Oleh karena itu, wajib bagi setiap Muhaffizh/ Muqri untuk bertalaqqiy menyetorkan bacaan dan hafalannya kepada seorang guru dengan jalur periwayatan yang shahih. Asy-Syaikh Husniy Syaikh Utsman mengatakan:
فعلى قارئ القرآن ان يأخذ قرائته على طريق التلقّى والإسناد عن الشيوخ الآخذين عن شيوخهم كى يصل إلى تأكد من أن تلاوته تطابق ما جاء عن رسول الله ﷺ بسند صحيح متصل
"Wajib bagi para pembaca Al-Qurân untuk mengambil bacaan Al-Qurannya dengan metode talaqqiy dan mengambil sanad dari para guru yang juga mengambil dari guru-guru mereka agar sampai pada sebuah kepastian bahwa bacaannya sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ dengan jalur periwayatan yang tersambung dan shahih."
Apabila para pelajarnya saja diwajibkan untuk memperhatikan talaqqiy dan silsilah periwayatan, maka tentu lebih utama lagi kewajiban tersebut ditujukan kepada para gurunya.
Al-Imâm Ibn Al-Jazariy dalam Munjidul Muqriin mengatakan:
والمقرئ العالم بها وراها مشافهة، فلو حفظ "التيسير" مثلا ليس له أن يقرئ بما فيه إن لم يشافهه من شوفه به مسلسلا لأن في القراءات أشياء لا تحكم إلا بالسماع والمشافهة.
"Muqri adalah seseorang yang memahami ilmu qiraat dan meriwayatkan Al-Qurân melalui musyafahah (dari lisan ke lisan). Apabila ia menghafal "At-Taysir" misalnya, maka ia tidak berhak menerima setoran bacaan Al-Qurân sesuai dengan kaidah yang ada dalam kitab tersebut, apabila ia belum membacakannya secara langsung kepada guru yang juga telah membacakannya dengan silsilah yang shahih, karena dalam qiraat begitu banyak perkara yang tidak bisa dihukumi kecuali dengan mendengar dari guru dan mempraktikkannya secara langsung di hadapannya."
2. Dasar-Dasar Bahasa Arab, khususnya yang berkaitan dengan tajwid dan waqf-ibtida
Dasar-Dasar Bahasa Arab akan membantu seorang Muhaffizh / Muqri menghindar dari lahn, memperkuat pemahaman tajwid, serta mengetahui kapan dan dimana ia bisa memulai bacaan, kapan dan dimana ia bisa mengakhirinya. Tanpa dasar-dasar bahasa Arab, ia tidak akan memahami tajwid dan waqf-ibtida dengan baik, bahkan akan membuatnya jauh dari kefasihan lisan. Karenanya tidak heran apabila Sayyidina Umar Ibn Al-Khathab pernah berkata sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Dani:
أن لايقرأ القرآن إلا على عالم باللغة.
"Janganlah seseorang menyetorkan bacaan Al-Qurânnya kecuali kepada orang yang memahami bahasa Arab."
3. Menguasai Ilmu yang Fardhu 'Ain
Memahami dan menguasai ilmu yang fardhu 'ain adalah kewajiban setiap muslim. Maka terlebih lagi para Muhaffizh/ Muqri yang setiap hari didatangi oleh para Ahlul Qurân. Apa jadinya generasi Ahlul Qurân apabila guru mereka tidak memahami ilmu yang fardhu 'ain dari akidah, ibadah, dan kesucian jiwa?
Apa jadinya apabila seorang penghafal Al-Qurân menjadi imam shalat, namun dalam keadaan tidak memahami fiqih thaharah dan fiqih shalat dengan benar? Tidak bisa membedakan mana yang rukun dan mana yang wajib (apabila ia seorang Hanabilah). Atau tidak bisa membedakan mana sunnah ab'adh mana sunnah hay'ah (apabila ia seorang Syafi'iyyah), sehingga keadaan tersebut dapat membuat nilai shalatnya menjadi berkurang, bahkan berpotensi batal.
Apa jadinya apabila seorang Muhaffizh / Muqri saat ditanya oleh murid-muridnya perkara fiqih yang berhubungan dengan Al-Quran, ia kemudian menjawab "sekenanya", tidak memperhatikan apakah jawab tersebut termasuk jawaban yang mu'tabar dan memiliki imam, atau jawaban yang syadz (janggal) dan mesti ditinggalkan.
Oleh karena itu, Al-Imâm Ibn Al-Jazariy mengatakan dalam Munjidul Muqriin:
والذي يلزم المقرئ أن يختلق به من العلوم قبل أن ينصب نفسه للاشتغال أن يعلم من الفقه ما يصلح به أمر دينه، ولا بأس من الزيادة في الفقه بحيث إنه يرشد طلبته، وغيرهم إذا وقع لهم شيء، ويعلم من الأصول قدر ما يدفع به شبهة من يطعن في بعض القراءات
"Dan di antara perkara yang wajib dilazimi oleh para Muqri adalah ia mesti menguasai beberapa ilmu sebelum menceburkan jiwanya dan menyibukan dirinya dengan mengajar, yaitu memahami ilmu fiqih yang dapat memperbaiki urusan agamanya, dan tidak mengapa apabila ia sanggup menambah pengetahuan fiqihnya sehingga sanggup mengarahkan murid-muridnya dan juga orang lain apabila mereka menemukan masalah. Juga mengetahui perkara pokok dalam akidah yang sanggup mencegahnya dari berbagai syubhat, khususnya yang berkaitan dengan tikaman terhadap ilmu qiraat."
Adapun berkaitan dengan adab, akhlak, dan kesucian jiwa, maka Al-Imâm An-Nawawiy telah menjelaskannya dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran. Hendaknya para pelajar dan terlebih lagi pengajar Al-Qurân untuk mempelajari kitab tersebut, mengulang-ulangnya, berusaha mengamalkannya, serta mengajarkan dan menyebarkannya.
Sesungguhnya uraian ini bukan dalam rangka membuat para Muhaffizh/ah, atau para pengajar Al-Qurân secara umum untuk berhenti dari aktivitas mengajar mereka. Namun, sebagai cambuk agar aktivitas mengajar yang sudah rutin dilakukan tidak menjadi penghalang bagi kita untuk terus dan terus belajar. Apabila aktivitas mengajar kita terlalu padat sehingga melalaikan kita dari belajar, maka penting bagi kita untuk mengeremnya, mengurangi waktu mengajar dan mulai menambah jam belajar, karena sesungguhnya Nabi ﷺ ketika bersabda mengenai umat
terbaik
, maka beliau menggabungkan antara belajar dengan mengajar.خيركم من تعلم القرآن وعلمه
"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qurân dan mengajarkannya."
Bahkan, Nabi ﷺ mendahulukan belajar sebelum mengajar. Ta'allum qablat ta'lim. Karena ini pula sering kami sampaikan bahwa:
"Berhenti belajar adalah kematian."
Menjelang rehat di malam Depok, 18 Mei 2022
- Muhammad Laili Al-Fadhli -
Komentar
Posting Komentar